oleh

Fokus di Pekanbaru, Tim Terpadu Awasi Ketat Distribusi Elpiji 3 Kg

SALISMA.COM (SC), PEKANBARU – Antisipasi kelangkaan dan penyalahgunaan gas bersubsidi, Pemprov Riau bersama tim terpadu Pertamina, Hismawa Migas, kepolisian dan Satpol serta Pemko Pekanbaru akan melakukan pengawasan rutin terhadap pendistribusian elpiji 3 kilogram.

Penanganan ini difokuskan di Pekanbaru sebagai daerah yang mengalami kelangkaan saat ini. “Razia rutin ini menindaklanjuti langkah dan mahalnya gas elpiji belakangan ini. Dalam razia kita akan melibatkan semua unsur termasuk Pertamina, Hiswana Migas, kepolisian dan Satpol PP, ini agar memberi efek jera kepada pelaku penimbunan dan penjual gas nakal,” Kepala Biro Administrasi Perekonomian Setdaprov Riau, Darusman, Senin (13/11/2017).

Kelangkaan elpiji 3 kg yang terjadi di Pekanbaru menurut Darusman karena banyaknya warga dari luar daerah mencari gas di Kota Pekanbaru. Terutama warga yang tinggal di perbatasan Riau dengan Kampar.

Apalagi setiap kabupaten/kota sudah memiliki kuota yang diatur pemerintah. Akibatnya Pekanbaru berdampak dengan pengambilan jatah yang dilakukan masyarakat di perbatasan tersebut.

“Kondisi ini mengakibatkan kelangkaan di Pekanbaru, khususnya di daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kampar. Namun di Kampar malah sebaliknya kelebihan kouta gas,” beber mantan Kepala Biro Humas, Protokol dan Kerjasama Setdaprov Riau ini.

Persoalan lain langkanya gas di Pekanbaru, lanjut Darusman, banyaknya pengusaha besar di Pekanbaru menggunakan gas subsidi. Seharusnya mereka menggunakan gas non subsidi.

“Karena pengusaha ini mau mencari keuntungan, makanya mereka kerap menggunakan gas subsidi milik warga kurang kurang mampu. Ini juga akan kita lakukan pengawasan,” bebernya.

Kemudian persoalan lain lagi, juga diakibatkan SSK Migas mengurangi kouta elpiji di Provinsi Riau. Namun pihaknya sudah meminta kepada SSK Migas agar kouta di Riau tidak dikurangi.

Tim gabungan ini juga lanjut Darusman, akan mengawasi pedagang gas subsidi yang menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp 18 ribu. Ini terjadi karena adanya pedagang kecil yang membeli langsung ke pangkalan. Padahal seharusnya warga yang langsung membeli ke pangkalan. (*)