oleh

Lima Ribu Rumah di Riau Terancam Tak Terjual, Pengembang Keberatan Aturan Menteri

PEKANBARU – Aturan Menteri PUPR Nomor 403 tahun 2003 tentang perumahan sederhana, yang mulai diberlakukan tahun 2018, dikeluhkan para pengembang atau pengusaha properti di Riau.

Karena hal ini dapat berimbas ribuan unit rumah tak bisa dijual kepada masyarakat ekonomi ke bawah.

Sebanyak lima ribu unit rumah sederhana terancam tidak bisa melakukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) tahun 2018.

Adapun salah satu poin dalam aturan tersebut adalah ceklis spek rumah, yang seluruh komponen rumah tersebut diatur berdasarkan standar yang ditentukan oleh pihak Kementerian PUPR, mulai dari besi yang digunakan, kayu, keramik, batu, hingga atap yang digunakan.

Hal ini menurut pihak Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Sehat Nasional (Apernas) Provinsi Riau, membuat pihak pengembang perumahan sederhana di Riau merasa keberatan. Karena jika itu diberlakukan, maka para pengembang akan rugi.

“Jika aturan tersebut jadi diberlakukan tahun ini, maka ada sekitar lima ribu unit rumah sederhana yang terancam tidak bisa dilaksanakan KPR tahun 2018 ini. Sebanyak tiga ribu unit dari kawan-kawan Apernas, dua ribu unit dari yang lainnya,” kata Ketua Apernas Riau, Muhammad Tulus saat hearing dengan Pansus bantuan perumahan DPRD Riau, Selasa (16/1).

Oleh karena itu, dikatakan Tulus, pihaknya berharap agar DPRD Riau mau bersama-sama untuk mengajukan ke pihak kementerian, agar mengubah dan merevisi aturan tersebut. Karena soal ceklis spek sesuai standar PUPR tersebut menurutnya terlalu memberatkan para pengembang.

Selama ini, menurutnya pengembang rumah sederhana juga tidak mengambil keuntungan besar. “Kalau itu diberlakukan, akan sangat memberatkan pengembang, bahkan yang ada malah rugi kami, karena semuanya diatur, mulai dari keramik, hingga ke atap. Toh selama ini tak ada juga konsumen yang komplain,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Pansus bantuan perumahan DPRD Riau, Yusuf Sikumbang mengatakan, pihaknya mendukung usulan pihak Apernas tersebut, karena bagaimana pun pengembang tidak harusnya merugi dalam membantu masyarakat.

“Namun demikian, spek perumahan sederhana tersebut tetap kita perhatikan, juga tidak sembarangan. Tapi kalau diatur semuanya dan harus mengikuti ketentuan aturan dari kementerian, tentu pengembang tidak bisa membangun rumah lagi,” ujarnya.

Selain itu, dalam aturan tersebut menurut Yusuf juga ditentukan harga tertinggi untuk penjualan, yakni Rp 130 juta paling mahal.

“Kita sepakat jika aturan tersebut direvisi. Karena kalau tetap diberlakukan, maka pengembang tidak akan mau menjual rumah lagi, dan KPR tentu tidak bisa dilaksanakan, dan perumahan untuk rakyat tak bisa terealisasi,” tuturnya. (*)