oleh

Jalan Panjang RI Swasembada Daging Sapi

JAKARTA, SALISMA.COM (SC) – Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri secara mandiri, atau swasembada daging sapi. Pemerintah dan dunia usaha, serta akademisi juga mengakui hal tersebut. Indonesia masih harus melalui jalan panjang untuk bisa swasembada daging sapi.

“Untuk di Indonesia, ketersediaan daging sapi dan kerbau ini masih defisit. Yang jelas bahwa kita masih belum bisa swasembada,” ungkap Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Peternakan dan Perikanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Pujo Setio dalam webinar Meat & Livestock Australia (MLA), Senin (22/3/2021).

Menurut Pujo, jumlah populasi penduduk Indonesia terus bertambah, namun populasi sapi dalam negeri tak mampu mengimbanginya. Hal itulah yang menyebabkan Indonesia belum mampu swasembada, dan masih membutuhkan bantuan impor.

“Oleh sebab itu dibutuhkan strategi pemenuhan, salah satunya dengan importasi, baik berupa sapi bakalan atau dalam kondisi hidup, atau dalam bentuk daging sapi atau kerbau,” kata Pujo.

Untuk tetap menghidupkan para peternak lokal, impor sapi hidup atau sapi bakalan pun terus dilakukan, dan nantinya dilakukan penggemukkan di Indonesia,

“Kita juga mengimpor populasi sapi-sapi bakalan yang bisa hidup di Indonesia untuk penggemukkan, sehingga pasokan tersedia, dan kita meningkatkan nilai tambah. Sebenarnya di Australia sendiri mengelola ternak-ternak sapi berdasarkan musim. Ini tentunya menjadi potensi bagi sebagian wilayah Indonesia untuk menampung sapi-sapi dari Australia, sehingga ketika musim kemarau yang panjang tidak hilang sapi-sapi tersebut,” urainya yang dikutip dari Detik.com.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komite Tetap Industri Peternakan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Yudi Guntara Noor juga mengatakan hal serupa. Ia mengatakan, salah satu cara untuk menjaga pasokan daging sapi dalam negeri dan tetap menghidupkan peternak adalah impor sapi bakalan.

“Indonesia biar saja di penggemukkan, karena kita itu kuat di pakan. Nah ini yang harusnya menjadi sebuah supply chain dan value chain yang kita harus melihat ke depan,” tutur Yuda.

Ia menegaskan, impor adalah jalan keluar bagi Indonesia yang masih belum bisa memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri.

“Jadi kita tidak perlu lagi melakukan dikotomi no import, produk domestik, tidak. Karena kita sampai kapan pun akan sulit memenuhi demand daging sapi di negara sebesar di Indonesia. Apalagi kalau pendapatan per kapitanya naik. Itu akan menumbuhkan demand daging sapi. Jadi kalau naiknya 1 kilogram (Kg) saja, itu naiknya 270.000 ton demand tambahan untuk di Indonesia,” imbuh Yuda.

“Nah ini harus dipahami. Bisa nggak Indonesia? Sulit sekali. Betul memang kita harus meningkatkan produksi dalam negeri. Tapi kita juga harus realistis bahwa kita untuk daging sapi akan sulit tanpa bantuan negara lain,” sambung dia.

Namun, untuk menjadikan importasi berjalan mulus dalam memenuhi kekurangan pasokan dalam negeri, pemerintah harus menetapkan fokus rantai pasok daging dalam negeri.

“Kalau dengan Australia ya penggemukkan, ini akan sangat cocok karena kita punya pakan. Dan Australia bagian utaranya mereka lebih senang ekspor ternak hidupnya daripada kirim ke selatan untuk dipotong. Mereka juga ada keuntungan, ini cocok. Kalau kita pilih supply chain daging beku dari India misalnya, ya betul. Tapi peternak kita akan disinsentif, mereka tak tertarik lagi untuk beternak karena harganya akan ditekan. Nah kita harus tetapkan mau rantai pasok yang mana? Tapi kita juga harus memperhatikan adanya industri pengolahan yang butuh bahan baku murah, yaitu berbasis impor daging beku atau daging kerbau India,” jelasnya.

Di sisi lain, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Rochadi Tawaf mengatakan, masih ada kebijakan pemerintah yang kontraproduktif dengan cita-cita swasembada daging sapi.

“Ada 7-10 kebijakan yang kontraproduktif terhadap swasembada. Yang sangat fundamental adalah selama ini kita tahu sentra peternakan konvensional ada di Pulau Jawa, di NTB dan NTT. Ini yang harusnya kita orientasi. Kita masih punya peluang yang cukup besar, yaitu di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun di Papua dan Kepulauan Maluku,” tutur dia.

Menurutnya, upaya peningkatan produksi masih sangat kurang karena belum maksimalnya pemanfaatan lahan-lahan perkebunan, lumbung pangan nasional atau food estate menjadi peternakan terintegrasi.

“Kalau melihat zaman dulu, Belanda melakukan tanam paksa di Indonesia dengan menghadirkan ternak di dalamnya, sehingga ternak berkembang, dan perkebunan terintegrasi. Di kita, tidak demikian. Industri kelapa sawit tidak dibarengi dengan ternaknya. Food estate sekali pun saya lihat sekarang tidak dibarengi dengan ternaknya. Artinya pemerintah masih menggunakan kebijakan parsial, sehingga tidak terintegrasi peternakan dengan pertanian dan perkebunan,” imbuh Rochadi.

Begitu juga dengan lahan-lahan bekas tambang, pulau kosong, yang menurutnya bisa dikembangkan menjadi sentra peternakan dalam negeri.

“Kemudian lahan bekas tambang yang belum termanfaatkan secara optimal. Padahal lahan pasca tambang sangat berpotensi untuk dikembangkan sapi-sapi potong. Dan terakhir bagaimana pulau-pulau kosong yang belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya Pulau Moa, berkembang menjadi sentra kerbau terbesar di kita saat ini. Oleh karena itu perlu terobosan untuk meningkatkan produksi dalam negeri,” pungkas Rochadi. (mil)