oleh

Refleksi Kemenangan di Solo: Naturalisasi Tanpa Arti

SALISMA.COM (SC), JAKARTA – Alfred Riedl membuat keputusan berani. Usai resmi ditunjuk kembali PSSI, pelatih asal Austria itu lebih memilih para pemain muda dan minim pengalaman untuk mengisi tim nasoional Indonesia.

Riedl tak lagi menyertakan pemain-pemain berpengalaman macam Firman Utina, Hariono, Hamka Hamzah, Muhammad Ridwan di dalam daftar 47 skuat seleksi.

Yang juga menjadi perhatian adalah keputusannya meninggalkan para pemain naturalisasi Indonesia. Memang ada satu pemain berwajah bule macam Irfan Bachdim di skuat tersebut.

Penyerang Consadole Sapporo itu merupakan pemain yang memiliki darah campuran Belanda dan Indonesia. Keturunan Belanda berasal dari sang ibu.

Namun, Irfan bukan pemain naturalisasi. Pasalnya, pemain berusia 28 tahun tersebut telah memilih kewarganegaraan Indonesia dari dua paspor yang ia miliki, yakni Belanda dan Indonesia, pada usia 18 tahun.

Hampir selusin pemain luar yang sudah dinaturalisasi Pemerintah Indonesia, tak lagi dilirik Riedl. Semisal salah satunya adalah pemain naturalisasi pertama Indonesia asal Uruguay, Cristian Gonzales.

Padahal, pemain Arema Cronus yang memulai debutnya di timnas Indonesia pada 21 November 2010 itu nyaris tak pernah absen di skuat Garuda. Masuknya Gonzales mengawali era gelombang pemain naturalisasi asal Indonesia.

Selain nama Gonzales, ada 10 pemain asing lainnya yang sudah dinaturalisasi. Mereka adalah Raphael Maitimo, Sergio van Dijk, Diego Michiels, Stefano Lilipaly, Tonnie Cussel, Jhon van Beukering, Ruben Wuarbanaran, Kim Jeffrey Kurniawan, dan terakhir Greg Nwokolo serta Victor Igbonefo.

Meski masih ada darah Indonesia, Kim Jeffrey dinaturalisasi dari kewarganegaraannya di Jerman. Greg dan Victor mendapat paspor Indonesia pada 2014 dan melepas kewarganegaraan asalnya: Nigeria.

Sisanya merupakan pemain yang dinaturalisasi dari Belanda. Jumlah itu saja sudah bisa bikin satu kesebelasan sendiri: timnas naturalisasi Indonesia.

Oriundi di Italia

Naturalisasi pemain baru dikenal Indonesia sejak 2010. Namun, fenomena itu bukan hal baru lagi di sepak bola dunia.

Bahkan bagi timnas kelas dunia seperti Italia, menaturalisasi pemain sudah dilakukan sejak lama. Publik Italia mengenal mereka dengan sebutan Oriundi.

Adalah Giovani Moscardini, pemain pertama yang dinaturalisasi Italia pada 1920-an. Setiap eranya pun selalu ada pemain naturalisasi dari luar Negeri Pizza itu. Terbanyak adalah pemain asal Argentina.

Namun, kebijakan itu hingga kini bukan tanpa polemik di Italia. Terbaru adalah kritikan terhadap mantan pelatih timnas Italia, Antonio Conte, terkait Oriundi.

Perdebatan mengiringi pembentukan timnas Italia untuk Piala Eropa 2016 ketika Conte memasukkan nama Eder dan Franco Vazquez. Eder dinaturalisasi dari Brasil, sedangkan Vazquez dari Argentina.

Sama seperti pelatih sebelumnya, Conte pun berdalih bahwa ini bukan kebijakan baru baginya untuk memilih pemain naturalisasi. Bahkan, ia yakin ini bukan yang terakhir juga.

Italia memang tidak bisa disamakan dengan Indonesia soal naturalisasi. Dengan atau tanpa naturalisasi pun, Italia tetaplah negara yang memiliki prestasi bagus di dunia.

Ini tentu berbeda dengan Indonesia. Menaturalisasi selusin pemain jadi hal mubazir ketika akhirnya tak banyak yang bisa berguna di skuat Merah Putih.

Apalagi, ada pelbagai kemudahan bagi mereka. Sebagian rombongan naturalisasi itu tak perlu melewati syarat mutlak harus tinggal lima tahun berturut-turut di Indonesia. Alasan memperkuat timnas menjadi celah hukum menaturalisasi mereka karena membela atau berjasa bagi Indonesia.

Nyatanya, tak satu pun pemain naturalisasi tersebut mampu membawa Indonesia juara di Piala AFF 2010, pentas sepak bola di Asia Tenggara.

Apalagi kebanyakan mereka yang masih aktif di sepak bola nasional tak lagi muda. Sebut saja Gonzales, Van Dijk, Greg, dan Igbonefo, usia mereka sudah kepala tiga lebih. Bahkan, Gonzales kini telah berusia 40 tahun!

Singapura dan Filipina memang jadi contoh sukses bagi negara Asia Tenggara berkat kebijakannya menaturalisasi pemain. Singapura menambah koleksi trofi Piala AFF yang keempat setelah sejak 2007 melakukan naturalisasi pemain.

Kesebelasan Filipina pun mulai ditakuti sejak menaturalisasi para pemainnya dengan selalu tembus ke semifinal Piala AFF dalam dua edisi terakhir.

Namun, sungguh sebuah kelatahan jika dari awal Indonesia mengikuti dua negara itu. Singapura adalah negara kecil namun sudah cukup familier dengan warga asing di sana.

Sedangkan di Filipina, sepak bola bukan olahraga favorit dan tak punya tradisi pembinaan sepak bola sebaik Indonesia.

Justru mereka butuh menaturalisasi pemain macam Philip dan James Younghusband demi mempopulerkan sepak bola di Filipina. Caranya dengan mendatangkan pemain bagus dari luar negara mereka demi merangsang gairah pembinaan sepak bola di negara itu.

Sedangkan di Indonesia, sepak bola bahkan sudah mendarah daging. Kompetisi di sini selalu melahirkan atmosfer luar biasa. Talenta-talenta dari Sabang sampai Merauke pun masih bisa dicari.

Malahan, ada seorang teman mantan pesepak bola di Indonesia Timur berkata: tujuh dari sepuluh anak lelaki di sana bercita-cita jadi pesepak bola. Itu baru di Indonesia bagian timur. Jadi, buat apa lagi naturalisasi?

Riedl sendiri pernah menyebut masih membuka kesempatan bagi para pemain naturalisasi. Namun, pelatih berusia 66 tahun tentu berpikir lebih logis dan pragmatis.

Ia tak ingin lagi silau dengan status pemain asing yang dinaturalisasi. Terpenting baginya adalah kualitas dan kesiapan calon-calon pasukannya di Piala AFF 2016 nanti.

Sebuah Refleksi

Kemenangan Indonesia pada laga internasional pertama setelah lepas dari sanksi FIFA, menjadi refleksi bagi Indonesia. Tak ada lagi ‘Oriundi’ di skuat Merah Putih dari 22 skuat yang dibawanya.

Hasilnya Indonesia masih bisa bermain impresif dengan mengganyang Malaysia 3-0. Memang, itu baru sebatas laga uji coba. Namun, setidaknya Garuda bisa mengawalinya dengan positif setelah setahun absen di kancah internasional.

Tak perlu lagi ada naturalisasi karena lebih bijak apabila Indonesia membenahi sistem pembinaan usia muda. Ramaikan lagi kompetisi-kompetisi usia muda.

PSSI di daerah hingga pengurus pusat pun harus menetapkan standar pembinaan. Dengan demikian, setiap kompetisi usia muda dan amatir yang kian menjamur, punya arah yang jelas sebagai pemasok calon-calon skuat Garuda.

Kompetisi di level profesional pun harus konsisten dalam memberikan ruang bagi para pemain muda lokal potensial. Kebijakan ini harus pula bersinergi dengan pemerintah dalam menyediakan sarana bagi kemajuan sepak bola Indonesia.

 

(CNN INDONESIA.com)