oleh

Bawa Preman Tetap Dipalak, Hantu Pocong Diserang

SALISMA.COM (SC), JAKARTAMEREKA perantau dari Pulau Jawa, secara berombongan. Mencari nafkah hingga pelosok-pelosok desa seantero Nusantara. Kerap dipuja, tapi tak jarang acaranya diporak-poranda para perusuh. Berikut kisahnya.

LALU MOHAMMAD ZAENUDIN, Mataram

HUJAN baru saja berlalu. Dingin membekap kawasan lingkar utara Kota Mataram.

Separuh langit masih gelap. Meski di sudut lain, matahari sudah benderang menyinari tanah Mataram.

Tak seperti gairah warna-warni dan corak motif dinding pembatas arena. Tempat itu terlihat kuyu.

Umbul-umbul ter

lihat lunglai tak ada angin  yang menerpa. Tetapi beberapa pria bertato, bertubuh kekar, gemuk dan berkulit gosong, keluar masuk arena.

Selang-selang menjuntai panjang. Mengular hingga ke luar panggung.

Celana pria-pria bertato itu basah. Ditambah bercak lumpur dari pinggang hingga ujung celana.

Mereka tengah berupaya mengeringkan arena pasar malam rakyat yang tiba-tiba berubah jadi kolam besar.

Iya, inilah arena pasar malam rakyat. Kalau masyarakat Lombok lebih suka menyebutnya dengan rona-rona.

Tak jauh dari Kantor BNN Kota Mataram, ada sebidang tanah lapang.

Di sanalah mereka menggelar panggung rakyat, untuk 20 hari ke depan. Berharap keberhasilan beberapa waktu lalu, bisa tertoreh manis lagi.

“Iya mas, banjir,” kata Agus Sayugo.

Dialah, pemimpin rombongan. Pria itu terlihat ramah. Tak sesangar anak buahnya. Tas kecil yang menyelempang di bahunya, enggan dilepas.

Susah payah ia bersama rekan-rekannya yang lain mengevakuasi alat-alat hiburannya yang terendam air.

“Saya dari Solo, ini (rona-rona) milik kakak, namanya Basuki,” kata dia mulai bercerita.

Pasar malam rakyat memang punya konsep unik. Semacam, event organizer (EO). Tapi mereka punya beberapa fasilitas bermain yang disukai anak-anak hingga remaja.

Dari rumah hantu, sampai tong edan (tong gila). Dari komedi putar hingga kolam bermain anak. Dan masih banyak fasilitas lainnya.

Ada juga wahana game-game bagi para remaja. Serupa Dufan, tapi dalam sekala kecil. Bedanya lagi yang ini bisa dipindah-pindah. Dari satu kota ke kota lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya.

“Yang berjualan di sini juga orang-orang yang berangkat bersama kami dari Solo dulu,” imbuhnya.

Luar biasa. Sejak 9 tahun silam, mereka telah tinggalkan kampung halaman. Selalu bersama-sama. Dari provinsi satu ke provinsi lain.

Mereka membawa peralatan hiburan yang biaya angkutnya bisa sampai puluhan juta. Hanya untuk memenuhi dahaga masyarakat yang haus hiburan.

Memang, kalau dibanding fasilitas hiburan di kota besar, arena bermain ini tidak akan pernah jadi pilihan. Tapi bagi masyarakat di pedalaman desa, kehadiran mereka sangat dinanti.

“Sama kakak (Basuki) kami diminta memberi hiburan di Kalimantan pertama kali, keliling ke berbagai kota dan desanya, lalu kita pindah lagi ke Sulawesi, baru kami sekarang ke Lombok,” terang dia.

Sudah 7 lokasi berbeda kelompoknya mentas di bumi pedas ini. Dari Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, hingga Kota Mataram. Kru pasar malam sebanyak 17 orang.

Belum lagi ditambah, puluhan pedagang yang menempel kemanapun mereka pergi.

“Kita memang sudah seperti keluarga di sini,” ujar Agus.

Matanya memandang beberapa ibu-ibu pemilik stan boneka dan makanan yang tak kalah sibuk membantu mengerikan arena bermain pasar malam rakyat.

Namun, karena yang diusung adalah hiburan, gesekan-gesekan kerap terjadi. Apalagi mereka dianggap sebagai warga luar yang masuk ke desa-desa.

Setiap kali manggung, selalu saja ada preman penguasa wilayah yang datang memalaki mereka.

Meski, sebenarnya Agus sudah berupaya membawa preman juga. Sayang preman penguasa wilayah lebih banyak.

“Untuk menghindari gesekan-gesekan, biasanya kita buat kesepakatan, mereka ambil (karis) parkir, kami cukup dari wahana hiburan saja,” tuturnya.

Ada yang menyanggupi. Bahkan senang dengan tawaran itu. Tapi ada pula preman yang rakus, higga tetap meminta jatah bayaran untuk uang keamanann pada Agus.

“Mau gimana, namanya juga usaha ya kita kasih semampu kita,” tuturnya.

Kalau tidak dituruti, khawatirnya mereka buat onar. Seperti pengalaman saat manggung di Lombok Tengah. Acara hiburan pasar malam rakyat terpaksa dihentikan sebelum Agus balik modal.

Saat itu untuk memeriahkan acaranya, Agus menyewa artis lokal. Kantongnya sampai terkuras Rp 10 jutaan untuk mendatangkan dua artis kodang Lombok.

“Tapi tiba-tiba panggung ricuh, aparat tidak berhasil menenangkan para pengunjung. Terpaksa di-cut (dihentikan) dan acara pasar malam dihentikan, meski belum balik modal,” kenangnya.

Kejadian tak kalah menggelikan dan tragis yang dialami para penghibur arena pasar malam rakyat ini, terjadi di salah satu stan Rumah Hantu.

Untuk memberi kesan hantu lebih hidup, Agus meminta pemain rumah hantu adalah orang. Bukan hanya boneka yang dimake up horor.

“Tapi masyarakat di sini ini aneh, kalau takut pasti mukul,” ujarnya.

Seperti ketika manggung di Lombok Timur. Tiga kru yang sudah berpakaian ala pocong menakuti beberapa orang yang penasaran dengan seramnya rumah hantu.

Tapi entah karena kesal atau berusaha melawan rasa takut, sambil teriak terkejut beberapa di antaranya malah menyerang pocong-pocongan itu.

“Ya karena tangan terikat dan tidak bisa bergerak bebas, kru-kru saya jadi babak belur,” ungkapnya.

Tak selamanya untung. Usaha hiburan pasar malam rakyat tak jarang juga buntung.

Di satu tempat, mereka biasanya sampai 20 hari. Termasuk pemasangan alat-alat hiburan. Hingga pindah ke tempat lain lagi. Kalau untung bisa raup Rp 10 juta di satu titik.

Tapi, kalau buntung tekornya tidak main-main sampai berjuta-juta.

“Ya seperti sekarang, banjir begini tanah juga jadi becek. Tidak mungkin nanti malam kami gelar hiburan, kasihan warga datang ke tempat seperti ini,” tukasnya.

 

(JPNN.com)