oleh

Kisah Mbah Mijan (2/habis), Dari Peristiwa Tangan Besar Hitam hingga Buka Praktek

SALISMA.COM (SC), JAKARTABAKAT ilmu spiritual sudah didapatnya sejak kecil. Mbah Mijan, sejak kelas V SD sudah menolong kakeknya mengobati patah tulang di Kebumen, Jawa Tengah.

Dari Kebumen, pemilik nama Samijan ini merantau ke Jakarta pada 2010. Dengan bekal ijazah ilmu komputer, Mijan bersaing di ibu kota.

Namun berbulan-bulan, pria kelahiran 21 April 1984 ini tak kunjung mendapat pekerjaan yang layak. Batinnya berkecamuk. Masihkah dia bisa bertahan luntang-lantung membawa ijazah S1-nya itu ke sana sini…

Tahun 2011, semuanya berubah.

Di Jakarta, Mijan tinggal indekos bersama seorang temannya di Pulo Gadung. Tak begitu luas, namun cukup untuk berteduh.

Di samping kediamannya, Mijan bertetangga dengan seorang tukang cendol keliling yang biasa disapa Pak Parmin.

Suatu ketika, usai magrib, Mijan mendengar Pak Parmin merintih, berteriak, seperti kesakitan. Hati Mijan terpanggil untuk menolong. Dia menganggap ada sesuatu yang mengusik tetangganya itu.

Namun saat itu Mijan masih belum bertindak. “Saya masih ragu, apakah ini panggilan saya untuk berbuat, menolong orang kesakitan,” kenang Mbah Mijan, dalam sebuah obrolan ringan di kawasan Permata Hijau, beberapa hari lalu.

Dua hari berlalu, Pak Parmin masih berteriak-teriak selepas magrib.

Di hari ketiga…

Usai salat magrib, lagi-lagi Mijan mendengar Pak Parmin berteriak-teriak. Kali ini, Mijan bertindak. Dia kunjungi kediaman tetangganya itu.

“Saya lihat dari jendela, di dalam…Pak Parmin berteriak dan di kaki kanannya ada tangan besar hitam sedang memegang dan menarik beliau. Hanya tangan, tanpa tubuh,” tutur Mbah Mijan.

Mijan kaget, spontan dia langsung masuk ke rumah Pak Parmin. Dia berusaha melepaskan cengkeraman tangan tanpa tubuh lainnya itu dari kaki Pak Parmin.

Sementara, tetangga dan warga sekitar sudah mulai ramai di luar. Mereka berpandangan lain. Para tetangga dan warga menganggap Mijan justru sedang berniat tak baik di kediaman Pak Parmin.

“Di saat mereka hendak menarik saya keluar, saya berhasil melepas cengkeraman tangan dari kaki Pak Parmin. Memang cuma saya yang tahu. Namun Pak Parmin langsung berhenti teriak, dan langsung tertidur,” ujar Mbah Mijan.

Melihat Pak Parmin lelap, seketika warga heran dan menghentikan maksud mereka menarik Mijan.

“Besoknya saya menjadi perbincangan orang. Ada yang baik, banyak juga yang jelek. Saya hanya diam. Pak Parmin sempat datang keesokan harinya itu. Dia bilang tahu dari orang tentang apa yang saya perbuat,” kata Mbah Mijan.

Setelah kejadian itu, Mijan pun sering didatangi warga, ajak berdiskusi, minta didoakan dan sejenisnya. “Mulai saat itu, saya berpikir, mungkin ini jalan saya,” tandas Mbah Mijan.

Meski memiliki bakat ilmu spiritual dari kakeknya, ternyata Mbah Mijan juga pernah berguru khusus. Samijan pernah berguru ke Bangkalan, di sebuah pondok pesantren.

Romo Kiai nama gurunya. “Saya bertemu beliau di Gresik, saat ziarah makam wali. Saya langsung diajak ke Bangkalan,” ujar Mbah Mijan.

Di sana, Mijan hanya diminta rajin beribadah. “Cuma salat, tidur, makan. Itu saja selama 40 hari. Di hari ke-41, Romo Kiai memberikan saya dua botol air. Satu untuk diminum, satunya untuk mandi. Setelah itu saya kembali ke Jakarta,” kenang Mbah Mijan.

Kini Mbah Mijan sudah membuka praktek di Modern Land, Cikokol, Tangerang (depan mal Metropolis).

“Suka dukanya banyak sekali. Namun apapun itu, yang berkuasa hanya Tuhan, Yang Satu,” tutup Mbah Mijan.

 

(JPNN.com)