oleh

Bully Atlet Bulutangkis dan Semangkuk Mie Ayam

SALISMA.COM (SC), JAKARTA – Keberadaan media sosial telah mengubah bagaimana orang saling berhubungan.

Media sosial bisa menciptakan sebuah keintiman tanpa harus adanya interaksi fisik.

Media sosial juga bisa menciptakan sebuah hubungan interaktif antara orang biasa dan orang terkenal secara instan.

Tentu media sosial bebas nilai sifatnya. Negatif atau positifnya tergantung pada pengguna.

Di dunia bulutangkis yang begitu populer di Indonesia hal yang sama juga berlaku.

Facebook, twitter, instagram, atau sarana media sosial lain memberi jalan bagi penggemar bulutangkis untuk mengirimkan pesan kepada atlet bulutangkis Indonesia. Begitupun sebaliknya.

Tak selalu sopan dan beradab tentunya.

Di beberapa akun media sosial milik atlet bulutangkis Indonesia misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, kritik dan hujatan adalah pemandangan biasa yang bisa terlihat ketika si pemilik akun kalah dalam sebuah turnamen. Terutama bila kalah telak atau di babak awal turnamen.

Kritik dan hujatan akan menjadi warna tersendiri di tengah ucapan penguat semangat dari para penggemar di sisi lainnya.

Pujian dan kritikan, kedua hal itu dibutuhkan oleh seorang atlet dalam perjalanan mereka mewujudkan mimpi.

Bila atlet adalah kuda pacu, maka pujian adalah makanan lezat untuk mereka sedangkan kritikan adalah cambuk agar mereka berlari lebih cepat.

Kritikan, bila arah pengunaannya tepat, akan bisa membuat atlet makin meningkat performanya, seperti halnya cambukan pelecut semangat agar kuda pacu melaju lebih cepat.

Kritikan, bila mengarah pada hujatan dan bully, tentunya bisa melukai dan menjatuhkan mental atlet, seperti halnya cambukan yang diarahkan membabi-buta hingga membuat kuda pacu terluka.

Batasan kritikan dan hujatan mengarah bully itu mungkin bisa dicontohkan pada analogi semangkuk mie ayam.

Saat mie ayam terasa kurang enak, adalah wajar bila pembeli mengkritik dengan berkata, misalnya: “Bang, mie ayamnya kurang asin.”

Jelas. Ada kekecewaan yang disampaikan dengan bahasa yang sopan. Si penjual mie ayam pun bakal dengan terbuka menerima kritikan itu.

Namun bila tiba-tiba si pembeli berkata : “Bang, mie ayamnya kurang asin, g**blok lu Bang, gak pernah diajarin ya. Percuma lu bikin mie ayam!” , maka bisa dipastikan penjual akan marah besar dan bisa berujung pada pertikaian.

Dalam adu argumen di media sosial, sering terdengar kalimat “Emang lu bisa main bulutangkis? Belum tentu elu bisa!” sebagai sebuah pembelaan saat performa atlet terpuruk, entah itu dikeluarkan oleh para pembela atlet ataupun oleh atlet itu sendiri.

Berdasarkan analogi semangkuk mie ayam tersebut, maka jawaban tersebut bukanlah sebuah jawaban bijak. Tentunya tak mungkin seorang pembeli bisa menerima jawaban “Emang lu bisa jadi tukang mie ayam? Belum tentu lu bisa!”, saat mereka protes pada sang penjual.

Atlet dalam hal ini harus sadar, bahwa mereka adalah tokoh utama dalam media sosial mereka. Mereka pemilik akun sedangkan para komentator adalah followers mereka. Tentunya setiap pembicaraan utama dalam media sosial tersebut adalah tentang si pemilik akun dan bukan orang lain.

Atlet adalah pemilik cerita dan tentu tak bisa berharap tokoh figuran dalam hal ini publik memiliki karakter serupa sesuai keinginan mereka.

Dalam hal hujatan dan bully, media sosial memang lebih kejam dibandingkan intimidasi langsung di lapangan.

Intimidasi penonton di lapangan memang terdengar nyaring, keras, dan langsung. Namun suara-suara intimidasi itu bisa hilang ketika mereka pergi menyudahi pertandingan dan pergi meninggalkan lapangan.

Hujatan dan bully lewat media sosial memang hanya berupa kata-kata, tak bersuara, namun mereka bisa menembus ruang-ruang privasi atlet.

Para penghujat tetap bisa mengintimidasi atlet ketika sang atlet baru saja rebah di kamar usai latihan berat lewat baris kata-kata singkat penuh kemarahan. Para pembully bisa mengecam atlet ketika sang atlet baru saja bangun tidur.

Semua hujatan dan bully akan bisa masuk dengan mudah sepanjang sang atlet membuka pintu masuk lewat akses mereka ke media sosial miliknya.

Padahal belum tentu semua penghujat dan pem-bully benar-benar marah saat melontarkan makian dan cacian kepada para atlet. Bisa saja mereka dengan santai mengetik kalimat penuh murka sambil mereka menunggu waktu ngantuk tiba.

Bisa saja penghujat melemparkan kalimat menyudutkan bertubi-tubi kepada sang atlet, padahal di saat bersamaan mereka tengah santai tanpa emosi nyata dalam diri mereka.

Dengan adanya media sosial, penggemar bulutangkis memang bisa lebih mudah ‘menggoda’ atlet, baik itu lewat pujian maupun lewat cacian.

Karena itulah, bagi atlet, tak perlu menganggap semua hujatan dan cacian itu dengan serius dan terlalu memasukkannya dalam hati mereka. Memiliki media sosial berarti sudah siap dengan risikonya, termasuk risiko mendapat hujatan dengan kata-kata yang mungkin tak bisa diterima.

Namun percayalah, banyak figur publik yang juga mengalami hal yang sama. Bahkan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang sudah sehebat itu pun tetap memiliki penghujat dan pem-bully di tiap akun sosial media mereka.

Yang ideal memang berharap para penggemar bulutangkis memiliki kedewasaan dalam berkomentar dan memberikan kritik.

Namun lantaran sangat sulitnya melihat hal itu terwujud, tentunya akan lebih mudah berharap para atlet Indonesia memiliki mental tangguh yang tak mudah goyah oleh hujatan dunia maya dan kemudian mematahkan cibiran itu lewat prestasi di lapangan tak berapa lama berselang.

 

(CNN INDONESIA.com)