SALISMA.COM (SC) – Terjadi perebutan kekuasaan Raja Diraja Melayu di Kesultanan Johor, pada akhir abad 17. Tragedi berdarah pun tumpah, ketika Raja Mahmud Mangkat Dijulang harus meregang nyawa di ujung keris Megat Seri Rama. Putra sultan dari istri sirinya Cik Pung, harus bermain dengan waktu untuk menyelundupkan ahli waris tahta kerajaan. Kelak ahli waris itu kemudian diberi nama Yang Mulia Raja Kecik.
Terombang ambing di lautan bersama para pelaut ulung dari kerajaan Johor yang setia, Cik Pung bersama putra mahkota lari ke Pulau Sumatera. Masuk jauh ke pedalaman hutan belantara, hingga ke tanah Pagaruyung. Tempat yang sama di saat Adithyawarman, pangeran dari Kerajaan Majapahit yang bertitah 400 abad lalu. Di daerah inilah kemudian Raja Kecik dibesarkan dan mulai menunjukkan cikal bakal seorang pemimpin. Walaupun daerah Pagaruyung dimaksud ini oleh banyak sejarawan disiolang debatkan antara di Sumatera Barat atau di sekitar desa Muara Takus, Kampar).
Masa beralih, tahun berganti. Sang Putra Mahkota mulai belajar kegagalan pendahulunya. Persebatian dengan orang serantau (Minangkabau dan orang Selat/Suku laut) dimanfaatkan untuk ‘menuntut balas’ pada Datuk Bendahara di tanah Johor. Awalnya meminta bantuan Bugis, namun bantuan yang tak kunjung datang Raja Kecik dan orang serantau langsung menyerang Johor. Raja Kecik menang gemilang. Tapi kemenangan ini sayang tidak bertahan lama, setelah orang Bugis bergabung dengan Sultan Johor.
Kecamuk dalam tahta Raja Kecik pun terus bergolak, sampai ia masuk kembali ke pedalaman Sumatera. Sehingga mendirikan Kerajaan Siak sekarang ini pada tahun 1726. Mulailah Raja Kecik ‘memisahkan’ Kerajaan Siak dari induk semangnya Kerajaan Johor yang belakangan juga bergerak ke Riau Lingga setelah Johor kembali jatuh ke tangan penjajah. Di Siak kemudian Sang Sultan membangun istana bersejarah hingga kini. Namun memang sisa peninggalan Kerajaan Siak keempat itu nyaris tak berbekas. Kalaupun ada, yang tersisa hanya beberapa rumah peninggalan perangkat kerajaan Siak ke 11 hingga 12, di zaman Sultan Syarif Kasim berkuasa di Siak Seri Indrapura.
Senapelan Abad 18; Daerah Kesultanan Siak
Sungai Siak menjadi fungsional dalam membangun peradaban masyarakat baru seperti masyarakat Pekanbaru. Dari hanya sebuah pasar tempat bertemunya antara pedagang dan pembeli, menjadi sebuah kota industri dan perdagangan besar hingga kini. Beberapa versi sejarah menyebutkan kalau Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau merupakan tempat berkumpulnya ‘orang gunung’ dari dataran tinggi Sumatera Barat untuk menjual hasil buminya ke dataran rendah pesisir Selat Melaka.
Nah, Sungai Siak di ‘semenanjung’ Senapelan sebagai tempat pertemuan itu terjadi. Namun beberapa versi sejarah lainnya menyebutkan kalau yang lebih dahulu berkembang adalah daerah Tapung. Dari daerah inilah kemudian dibuka jalur oleh Raja Siak ke 4 Sultan Alamuddin Syah alias Marhum Pekan. Memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Siak dari Mempura hingga membuka kawasan Senapelan sebagai tempat perdagangan dan aktivitas Kerajaan Siak di Pekanbaru di tahun 1726.
Maka, terbukalah ketika itu jalur perdagangan lada, gambir, kayu, dan rotan. Jalur Selatan Teratak Buluh dan Buluh Cina. Sedangkan jalur barat hingga Bangkinang hingga Rantau Berangin. Kemudian jalur ini terus dibuka oleh Sultan Muhammad Ali, putranya. Daerah Senapelan pun kian ramai. Istilah Pokan Boghu makin populer di tengah masyarakat. Sehingga karena proses penyesuaian filologi panjang, menjadi Pekanbaru.
Berdasarkan musyawarah “Dewan Menteri” (datuk empat suku; Pesisir, Limapuluh, Tanah datar, dan kampar) Kesultanan Siak pada 23 Juni 1784, maka kawasan ini ditetapkan sebagai Pekanbaru. Tanggal tersebut dijadikan sebagai milad kota hingga kini.
VOC Pembuka Akses Kampung Senapelan Akhir Abad 17
Selain catatan di atas, masih ada beberapa versi lagi tentang munculnya kota Pekanbaru. Ada yang menyebutkan kalau nama Pekanbaru yang disebut “Senapelan” itu merupakan berasal dari satu persukuan masyarakat yang dipimpin oleh seorang Kepala Suku alais Batin. Daerah inilah yang kemudian terus berkembang menjadi kawasan pemukiman dari waktu ke waktu. Sehingga perlahan besar berubah menjadi sebuah dusun yang disebut Dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak.
Pada tanggal 9 April tahun 1689, telah diperbaharui sebuah perjanjian antara Kerajaan Johor dengan Belanda (VOC). Dalam perjanjian tersebut Belanda diberi hak lebih luas. Termasuk di dalamnya diatur soal pembebasan cukai dan monopoli beberapa jenis barang dagangan. Untuk menjalankan misi sosial ke masyarakat, Belanda juga mendirikan Loji di Petapahan yang saat itu merupakan kawasan yang maju dan cukup penting.
Karena kapal Belanda tidak dapat masuk ke Petapahan, maka Senapelan difungsikan sebagai basis perhentian kapal-kapal Belanda. Belakangan, pelayaran ke Petapahan dilanjutkan dengan perahu-perahu kecil. Praktis, Payung Sekaki atau Senapelan sebuah bandar logistik ragam komoditi perdagangan. Baik dari luar untuk diangkut ke pedalaman, maupun dari pedalaman untuk dibawa keluar berupa bahan tambang seperti timah, emas, barang kerajinan kayu dan hasil hutan lainnya.
Tak banyak catatan sejarah yang menyebutkan Bandar Payung Sekaki atau Bandar Senapelan memegang peranan lalu lintas perdagangan penting di Suamatera. Letak Senapelan yang strategis membuat perkampungan ini memegang posisi silang baik dari pedalaman Tapung maupun pedalaman Minangkabau dan Kampar. Hal ini merangsang berkembangnya sarana jalan darat melalui rute Teratak Buluh (Sungai Kelulut), Tangkerang hingga ke Senapelan sebagai daerah yang strategis dan menjadi pintu gerbang perdagangan yang cukup penting.
Karena perkembangan Senapelan inilah juga turut merangsang ekspansinya Kerajaan Siak Sri Indrapura. Semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah menetap di Senapelan, beliau membangun Istana di Kampung Bukit dan diperkirakan Istana tersebut terletak disekitar lokasi Mesjid Raya sekarang. Sultan kemudian berinisiatif membuat pekan atau pasar di Senapelan namun tidak berkembang. Kemudian usaha yang dirintis tersebut dilanjutkan oleh putranya Raja Muda Muhammad Ali yang bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah meskipun lokasi pasar bergeser di sekitar Pelabuhan Pekanbaru sekarang.
Akhirnya menurut catatan yang dibuat oleh Imam Suhil Siak, Senapelan yang kemudian lebih popular disebut Pekanbaru resmi didirikan pada tanggal 21 Rajab hari Selasa tahun 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah dibawah pemerintahan Sultan Yahya yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Pekanbaru.
Sejak ditinggal oleh Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, penguasaan Senapelan diserahkan kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat Datuk besar yaitu Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir dan Datuk Kampar. Mereka tidak memiliki wilayah sendiri tetapi mendampingi Datuk Bandar. Keempat Datuk tersebut bertanggungjawab kepada Sultan Siak dan jalannya pemerintahan berada sepenuhnya di tangan Datuk Bandar. (ong dari berbagai sumber net)